UNHAS.TV - Di salah satu sudut ruangan Perpustakaan Universitas Hasanuddin dengan temaram lampu putih terang, Abdul Salam Saputra duduk tenang di hadapan kamera. Dengan suara pelan namun mantap, ia membuka perbincangan seperti sudah puluhan kali diwawancarai.
Di balik kemeja santainya, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin angkatan 2021 itu menyimpan cerita yang jauh lebih dalam dari sekadar skripsi semester delapan, pendiri platform edukasi clashmate.id atau aktivitas debat antarmahasiswa.
“Komunikasi itu kan kita lakukan setiap hari,” katanya. “Tapi justru itu yang membuatnya menarik untuk dipelajari.”
Lelaki yang akrab disapa Salam itu mengaku memilih jurusan komunikasi bukan karena panggilan jiwa sejak kecil, melainkan karena dua alasan yang mungkin membuat para akademisi mengernyit.
Ia rupanya ingin mencari jurusan dengan kuliah yang relatif ringan dan sesuai dengan kegemarannya terhadap media sosial serta public speaking. Namun, di balik kesan santai itu, tersembunyi kegigihan seorang pembelajar yang tahu betul apa yang ingin dicapainya.
Tak ada paksaan dari orang tua. “Katanya, saya yang jalani, saya juga yang akan merasakan semua prosesnya,” ujarnya.
Abdul Salam mengenal debat bukan dari bangku kuliah. Saat SMA, ia sempat menjajal beberapa lomba debat, meski lebih banyak aktif di kegiatan karya tulis ilmiah.
Namun, minat itu tumbuh menjadi hasrat ketika ia mengenal Unit Kegiatan Mahasiswa Debat Bahasa Indonesia FISIP Unhas, atau lebih dikenal dengan BASIS.
Di sanalah, ia merasa menemukan rumah: ruang untuk menyampaikan pendapat tanpa gangguan, ruang di mana selama tujuh menit penuh orang lain harus mendengarkan.
“Di dunia nyata, seringkali kita tidak punya kesempatan bicara. Tapi di forum debat, kita bebas mengekspresikan opini,” katanya dengan mata berbinar.
Debat, baginya, bukan cuma soal adu argumen. Itu adalah proses bertumbuh—sebuah latihan untuk berpikir kritis, menyusun logika, hingga membentuk empati.
Dalam banyak perdebatan, Salam belajar bahwa setiap argumen punya dua sisi, dan tugasnya adalah memahami keduanya. “Kita belajar melihat dari sudut pandang yang tidak selalu kita setujui,” katanya.
Tahun 2023 menjadi titik balik. Ia terpilih mewakili Universitas Hasanuddin dalam ajang Kompetisi Debat Mahasiswa Indonesia (KDMI) yang digelar di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Banten.
Selama enam bulan persiapan, Salam dan timnya dijejali ratusan mosi—topik-topik perdebatan—yang harus mereka bahas setiap hari. “Catatan saya sampai 120-an mosi,” ujarnya sambil tertawa kecil. “Tapi itu justru membentuk daya tahan berpikir saya.”
Universitas Sediakan Pelatih Khusus
Unhas, katanya, benar-benar mendukung penuh persiapan mereka. Mereka bahkan disediakan pelatih khusus. Setiap argumen dikuliti, setiap logika diuji. “Dilatih sampai terbiasa berpikir cepat dan dalam,” kenangnya.
Namun, perjuangan itu bukan tanpa drama. Kekalahan demi kekalahan di awal sempat membuatnya gamang.
Bahkan, sempat terjadi konflik internal dengan rekan debatnya. Tapi, seperti debat yang baik, semua itu diselesaikan lewat komunikasi yang jernih.
“Kita saling memotivasi untuk balik lagi ke arena,” ujarnya.
Dari ruang kelas hingga forum debat, dari media sosial hingga organisasi, komunikasi menjadi benang merah dalam hidup Abdul Salam.
Ia percaya bahwa banyak persoalan di dunia ini—dari pertengkaran pasangan hingga konflik sosial—berakar dari miskomunikasi. Karena itu, baginya, belajar ilmu komunikasi bukan sekadar tentang teori dan retorika, tapi soal membangun kesadaran.
“Komunikasi itu bukan hanya soal bagaimana kita menyampaikan sesuatu, tapi juga bagaimana kita menerima,” katanya.
Ia mengibaratkan komunikasi seperti melempar bola: dalam dunia nyata, orang menerima bola sebagai bola.
Tapi dalam komunikasi, kita bisa melempar ‘bola’ dan orang lain menerimanya sebagai ‘kubus’. Maka tugas ilmu ini adalah meminimalisir miskonsepsi. “Agar apa yang kita maksud benar-benar sampai,” ujarnya.
Melatih Pikiran, Menantang Ego
>> Baca Selanjutnya