Opini

Dari Hatta ke Soemitro: Jalan Pulang Menuju Ekonomi Rakyat




Laporan dari Kementerian Koperasi dan UKM pada tahun 2023 menunjukan, bahwa koperasi memiliki kontribusi besar terhadap PDB Indonesia, yaitu mencapai 5,1% pada tahun 2022.

Angka ini menegaskan bahwa koperasi memainkan peran penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Terdapat 127 ribu koperasi aktif yang tersebar di seluruh Indonesia bekerja secara diam-diam dalam mendongkrak ekonomi.

Menariknya, kontribusi koperasi tersebut tidak lahir dari suntikan modal besar atau proteksi kebijakan yang istimewa. Sebaliknya, koperasi tetap bertahan dan berkembang justru dari kekuatan partisipasi anggota, dari semangat kolektif gotong royong, serta dari ketahanan sosial yang tumbuh karena rasa memiliki.

Koperasi menghidupkan berbagai lini kehidupan, mulai dari koperasi pertanian yang menjaga stabilitas harga hasil tani, koperasi nelayan yang membuat harga jual hasil laut tak bergantung sepenuhnya pada tengkulak, hingga koperasi konsumen yang menyediakan akses barang dan jasa dengan harga terjangkau bagi masyarakat bawah.

Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2021 semakin meneguhkan kontribusi koperasi terhadap perekonomian Indonesia. Sebanyak 4,25% rumah tangga di Indonesia mendapatkan bantuan pembiayaan melalui lembaga koperasi rakyat. Angka ini nyaris melampaui dukungan akses pembiayaan yang diberikan oleh layanan produk perbankan umum non-KUR (Kredit Usaha Rakyat), yaitu sebesar 4,95%.

Meskipun demikian, koperasi mempunyai tantangan besar di tengah gejolak ekonomi global dan masifnya digitalisasi ekonomi. Saya mencatat, terdapat empat tantangan koperasi agar senantiasa relevan dengan perkembanga zaman.

Empat Aral Koperasi

Jika dulu persoalan utama koperasi berkutat pada permodalan, manajemen dan kepercayaan anggota, saat ini muncul tantangan-tantangan baru yang mengharuskan koperasi untuk melakukan pembenahan secara fundamental.

Pertama, persoalan tata kelola kelembagaan. Tidak sedikit koperasi berdiri sebagai formalitas demi memenuhi syarat administratif program. Dengan kata lain, koperasi dibuat berdasarkan project, yang terus bergantung pada bantuan pemerintah atau pihak luar, bukan mengandalkan kekuatan anggota sendiri.

Dampaknya adalah struktur organisasi yang rapuh, kepemimpinan yang kurang profesional, dan kualitas sumber daya manusia yang belum memadai. Oleh sebab itu, jumlah koperasi aktif di Indonesia mengalami penurunan yang drastis, yaitu turun 79.328 unit, dari 209.448 unit pada 2014 menjadi 130.119 unit pada 2023.

Pada aspek lain, tata kelola koperasi masih mempraktikkan cara-cara lama yang tertutup dan konvensional. Padahal perkembangan zaman menuntut kecepatan dan transparansi serta adaptasi teknologi, dimana penggunaan sistem manajemen digital seharusnya menjadi kebutuhan dasar.

Kedua, digitalisasi koperasi. Tidak sedikit koperasi yang kesulitan memanfaatkan teknologi akibat keterbatasan infrastruktur, rendahnya kemampuan digital para pengurus dan anggota, serta belum terbentuknya ekosistem digital yang mendukung kebutuhan koperasi.

Jika digitalisasi tidak dipercepat, koperasi akan makin tertinggal dibandingkan model usaha baru yang serba terkoneksi dan adaptif serta agile terhadap perubahan. Padahal, nilai ekonomi digital Indonesia sangatlah besar, yaitu berpotensi tembus US$ 130 Miliar pada 2025.

Ketiga, koperasi di Indonesia didominasi oleh koperasi simpan pinjam ketimbang koperasi sektor riil. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UMKM pada 2024, 70% koperasi di Indonesia bergerak di usaha simpan pinjam, sementara di sektor riil masih di bawah 30%.

Angka ini menjadi semakin tragis ketika melihat realitas di lapangan dimana koperasi simpan pinjam tak ubahnya rentenir yang justru menghisap ekonomi rakyat dengan memberlakukan bunga pinjaman tinggi, alih-alih memberdayakan ekonomi rakyat.

Keempat, konektivitas koperasi dengan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Di tengah fragmentasi UMKM, koperasi sebetulnya memiliki peluang untuk berperan sebagai wadah yang mengagregasikan produk, mempermudah akses pembiayaan, menghubungkan ke pasar, sekaligus memperkuat posisi tawar bagi pengusaha kecil.

Sayangnya, peran ini sering terbentur cara pandang lama yang memposisikan koperasi hanya sebatas lembaga simpan pinjam. Tanpa pembaruan model bisnis, koperasi sulit untuk mengambil peran strategis sebagai motor penggerak ekonomi rakyat.

Padahal, koperasi dan UMKM tidak bisa dipisahkan karena keduanya saling menopang sebagai tulang punggung ekonomi rakyat. UMKM bergerak di level usaha mikro, kecil, dan menengah yang umumnya memiliki modal terbatas, akses pasar sempit, dan posisi tawar yang lemah jika berjalan sendiri-sendiri.

Di sinilah koperasi hadir sebagai pengikat dan penggerak. Mengorganisir para pengusaha UMKM agar bisa berproduksi, bernegosiasi, dan memasarkan produk secara kolektif. Melalui koperasi, UMKM dapat memperoleh pembiayaan yang lebih terjangkau, pelatihan manajemen usaha, serta akses pasar yang lebih luas.


>> Baca Selanjutnya