Unhas Story

Dwi Ananda Febryan: The Wonder Kid dari Peternakan Unhas

UNHAS.TV - Pada wajahnya yang teduh, tak tampak ambisi yang membara. Tapi siapa sangka, di balik senyum tenang Dwi Ananda Febryan—akrab disapa Kak Rian—tersimpan gelora seorang petarung akademik dan organisatoris ulung.

Ia bukan hanya mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin (Unhas) dengan indeks prestasi 3,82, tapi juga sosok dengan beragam prestasi.

Sosok energik ini lantas menjadi juara Mahasiswa Berprestasi (Mapres), pemenang lomba nasional dan internasional, koordinator acara besar, aktif di beragam organisasi, serta mentor handal bagi teman sejawat.

Tidak heran julukan “The Wonder Kid” melekat pada dirinya—sebuah gelar yang memuat kekaguman dan penghormatan. Julukan itu disematkan oleh rekan dan dosennya karena sepak terjangnya yang melampaui sekadar mahasiswa biasa.

“Saya tidak pernah mengejar gelar, tapi ingin memberi makna,” katanya suatu siang saat wawancara Unhas.TV dalam program Unhas Story di Fakultas Peternakan Unhas, sambil mengatur map berisi laporan risetnya.

Takdir Rian sebagai mahasiswa Peternakan sejatinya bukan pilihan pribadinya. Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tak membawanya ke jurusan impian, dan jatuh di pilihan kedua, Peternakan Unhas yang merupakan aspirasi orang tuanya.

“Waktu itu saya ingin ke Kedokteran Umum atau Kedokteran Hewan di kampus Pulau Jawa. Tapi orang tua maunya saya tetap di Makassar,” ujarnya.

Seperti pepatah lama, pilihan orang tua kadang justru paling menuntun. Dari yang awalnya merasa “terpaksa”, Rian kemudian menjelma menjadi ikon mahasiswa unggulan jurusan Peternakan, membuktikan bahwa kecintaan bisa tumbuh dari proses dan konsistensi.

Masuk tahun 2021, Rian adalah bagian dari “angkatan COVID”—generasi yang memulai kuliah di tengah pandemi. Proses belajar daring menjadi tantangan besar.

Ia bahkan sempat menjadi caregiver bagi keluarga yang positif COVID-19 di Rumah Sakit Salewangang, Maros. “Saya waktu itu, asistensi praktikum via Zoom dari ruang isolasi,” kenangnya sambil tertawa getir.

Kondisi serba terbatas menguji ketangguhan dan disiplin. “Saya belajar bahwa kunci utama itu bukan sistem pembelajaran, tapi bagaimana kita beradaptasi,” ujar peraih medali emas di Pimnas 37 tahun 2024 ini.

Lulus dari fase daring, Rian berhadapan dengan kenyataan akademik yang tak kalah keras. Praktikum demi praktikum menuntut kerja manual: dari menulis laporan dengan tangan hingga pengamatan di kandang.

“Saya pikir semua laporan bisa diketik, ternyata harus tulis tangan, banyak dan panjang pula,” ujarnya. Ia tertawa kecil, mengenang masa-masa harus begadang menyelesaikan laporan seraya mengikuti rapat organisasi.

Di balik itu, Rian belajar telaten, sabar, dan berani bersuara di lingkungan akademik yang masih kental nuansa senioritas. “Saya bukan tipe yang diam-diam saja,” katanya. “Tapi saya juga belajar bagaimana menyampaikan kritik dengan elegan.”

Minoritas yang Melawan Arus

>> Baca Selanjutnya