MAKASSAR, UNHAS.TV - Pergantian tahun kali ini akan menjadi momentum bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada 2 Januari 2026, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru juga dijadwalkan mulai berlaku resmi di Indonesia.
Tak sekadar mengganti, perubahan ini boleh dikata sebagai "revolusi" paradigma yang mengganti konsep hukum pembalasan (restributif) yang diwariskan oleh pemerintah kolonial Belanda sejak berabad lalu.
KUHP Baru menekankan konsep restoratif justice. Dalam hal ini pemidanaan tidak semata berorientasi pada efek jera melalui hukuman balasan, tetapi fokus pada pemulihan pihak terkait dengan pendekatan humanis dalam kasus pidana, baik pelaku, korban, keluarga, dan lingkungan sosial.
Anggota Komisi XIII DPR RI, Dr Hj Meity Rahmatia menyebut bahwa pemidanaan dalam KUHP Baru mengutamakan pencegahan, memasyarakatkan terpidana, menyelesaikan dampak atau konflik akibat pidana, dan memulikan perdamaian di tengah-tengah masyarakat.
"Hal itu dijelaskan pada pasal 51 KUHP Baru. Kemudian bentuk hukuman juga tidak mesti dipenjara tapi diganti dengan hukuman alternatif berupa kerja sosial di luar," imbuhnya.
Menurut Meity, tujuan berlakunya pendekatan baru dalam KUHP, diantaranya mengurangi over kapasitas di lembaga pemasyarakatan (Lapas) dan rumah tahanan (Rutan).
"Kita menghadapi sumber masalah besar yang berpengaruh pada pengelolaan Lapas dan Rutan, yaitu over kapasitas yang hampir sulit mendapatkan solusi karena sumber daya. Dan dengan KUHP Baru, saya sebagai mitra Kemenkum di DPR RI berharap masalah ini teratasi," jelasnya.
Namun demikian, di tengah gegap gempita pergantian ini, politisi Partai Keadilan Sejahtera itu juga memiliki sedikit kekhawatiran. Yaitu, terkait kesiapan para aparat penegak hukum (APH), terutama di Lapas dan Rutan dalam menjalankan perintah KUHP baru.
"Sejujurnya saya pribadi sedikit khawatir dengan kesiapan aparat hukum dalam konteks implementasinya di lapangan.
"Misalnya dalam pelaksanaan hukuman alternatif di luar Lapas dan Rutan. Bagaimana metode dan manajemen pelaksanaannya agar tujuan dari hukuman restoratif ini tercapai secara tepat," ungkapnya.
Selain itu, pendekatan hukum dalam KUHP baru ini juga menggunakan pendekatan multidisiplin, terutama pendekatan sosiologis dan psikologis. Bagaimana membangun resolusi konflik, pemberdayaan, dan lain sebagainya.
"Artinya, APH juga harus menguasai pengetahuan dan pendekatan-pendekatan ini. Saya membayangkan kerja APH ke depan lebih seperti kerja NGo dalam pemberdayaan masyarakat," terang Meity lebih lanjut.
Meity kemudian meminta Kemenkum, Kemenham dan Kemimipas serta lembaga terkait lainnya untuk berkoordinasi intensif.
"Mereka baru menyiapkan aparat mereka secara total agar bisa melaksanakan perintah KUHP baru ini dengan efektif nantinya," pungkasnya. (*)
Anggota Komisi XIII DPR RI, Dr Hj Meity Rahmatia saat melakukan kunjungan ke Lapas Nusa Kambangan, Desember 2025. Meity mengingatkan aparat penegak hukum harus bersiap dengan KUHP baru yang berlaku pada Januari 2026. (dok pribadi)




-300x164.webp)



