Kemampuan Bung Karno dalam hal ini bahkan diakui oleh Bung Hatta. Ia mengungkapkan.
"Menduga perasaan rakyat dan memberi jalan kepada perasaan itu ke luar, itulah kewajiban yang amat sulit dan susah. Itulah kewajiban leadership!.... Pergerakan rakyat tumbuh bukan karena pemimpin bersuara, tetapi pemimpin bersuara karena ada pergerakan atau karena ada perasaan dalam hati rakyat yang tidak dapat oleh rakyat mengeluarkannya.... Pemimpin mengemudikan apa yang sudah dikehendaki oleh rakyat. Itulah sebabnya, pemimpin lekas dapat pengikut dan pergerakan yang dianjurkannya cepat berkembang."
Ungkapan itu menegasikan karakter penyelenggara negara atau pemimpin yang ideal, adalah mereka yang menangkap relung hati rakyatnya tanpa harus menunggu rakyat bicara. Artinya, sebelum rakyat bicara, dia telah memahami apa yang menjadi kehendak rakyat. Itulah empati, sebuah kemampuan emosional yang tidak turun dari langit, tapi dibangun dengan kemampuan etika dan nilai moralitas.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, Bung Hatta sudah mengingatkan bahwa pemenuhan cita-cita kemerdekaan Indonesia--untuk mewujudkan suatu kehidupan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur --mengandung kewajiban moral. Kewajiban etis yang harus dipikul dan dipertanggungjawabkan.
Belajar dari kedua mahaguru bangsa tersebut, setidaknya ada empat sumber utama bagi seorang pemimpin untuk mengembangkan, menjaga, dan memobilisasi "moral capital secara politik. Pertama, basis moralitas; menyangkut nilai-nilai, tujuan, serta orientasi politik yang menjadi komitmen dan dijanjikan pemimpin politik kepada konstituennya.
Kedua, tindakan politik; menyangkut kinerja pemimpin politik dalam menerjemahkan nilai-nilai moralitasnya ke dalam ukuran-ukuran perilaku, kebijakan, dan keputusan politiknya. Ketiga, keteladanan; menyangkut contoh perilaku moral yang konkret dan efektif, yang menularkan kesan otentik dan kepercayaan kepada komunitas politik.
Keempat, consensus building, kemampuan seorang pemimpin mengomunikasikan gagasan serta nilai-nilai moralitas dalam bentuk bahasa politik yang efektif, yang mampu memperkuat solidaritas dan moralitas masyarakat.
Urgensi UU Etika Penyelenggara Negara
Penerapan Undang-Undang etika penyelenggara negara selama ini masih bersifat parsial. Dalam UU No 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari KKN, yang menekankan pada upaya menghadirkan pemerintah yang bersih dengan mengutamakan pencegahan dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sedangkan pada Undang-Undang No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan mengatur pedoman dalam perbuatan hukum pejabat administrasi negara.
Kendati, kedua undang-undang ini mengarah pada aktivitas eksekutif dan belum mengatur pada pedoman secara menyeluruh perilaku pejabat yang dikehendaki TAP MPR No 6/2001, seperti bentuk sikap yang bertata kram, toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik, serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulasi, dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. Selama ini penyusunan kode etik lembaga negara tidak menggunakan TAP MPR No 6/2001 sebagai pijakan. Akibatnya, standar etika pejabat berbeda-beda.
Langkah penindakan terhadap pelanggaran etika penyelenggara negara belum memiliki instrumen hukum yang jelas. Hal ini sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab penyelenggara negara, karena tidak memiliki kekhawatiran atas pelanggaran etis yang mereka lakukan.
Keretakan sosial antara penyelenggara negara dan rakyat disebabkan karena etika tidak dipandang sebagai sebuah integrasi kewenangan yang melekat pada penyelenggara negara. Hal ini yang dapat menimbulkan nirempati penyelenggara negara terhadap kondisi rakyatnya.
Etika penyelenggara negara sudah seharusnya diletakkan pada tingkat paling fundamental dalam kehidupan barbangsa dan bernegara. Terutama dalam menyikapi aspirasi yang dikemukakan oleh rakyat. Sikap menyimpang seperti nirempati sudah seyogyanya tidak layak melekat pada penyelenggara negara, imbasnya tidak hanya konsekuensi pelanggaran etis, tapi menunjukkan kemunduran karakter sebuah bangsa yang besar.(*)

Fadli Ilham
-300x158.webp)







