Daya tarik media kian mengental. Darah medianya pun berlanjut ketika Alwi memprakarsai penerbitan media saat aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), “Idjo Itam Bersdjoang” itu.
Guna memperdalam kemampuan jurnalistiknya, Alwi mengikuti pendidikan di Kursus Wartawan Mekar pimpinan YM Mewengkang tahun 1961 di Makassar.
Bermodalkan sertifikat kursus wartawan inilah, semangatnya mendirikan media kian kencang. Akhirnya, dia mendirikan Harian KAMI Edisi Sulsel pada tahun 1966.
Mingguan KAMI tidak lain adalah media perjuangan mahasiswa. Namun di belakang hari, mingguan ini diberangus pemerintah menyusul kasus Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974. Alasannya, KAMI dianggap perpanjangan tangan dan suara mahasiswa.
KAMI tidak hanya berbuah dibredel, tetapi Alwi Hamu sebagai pemimpin redaksinya pun berurusan dengan hukum. Dia pernah diganjar vonis enam bulan lantaran menggunakan hak tolak media.
Selaku pemimpin redaksi dan penanggung jawab, dia menolak menyebut sumber dalam sebuah berita yang diturunkan ketika jadi pesakitan di persidangan. Itu memang dilindungi oleh Kode Etik Jurnalistik. Sampai ke liang kubur pun wartawan harus menjaga hak tolak ini, kecuali untuk kepentingan keamanan negara.
"Dia dituduh menghina penguasa di depan umum," kata Alwi Hamu seperti dikutip Koran PWI Sulsel, edisi II Maret 2009.
Setelah Mingguan KAMI "dimatikan" oleh Orde Baru, Alwi Hamu banting stir. Dia melirik dunia usaha. Namun semangatnya sebagai seorang pekerja pers, tetap melekat pada dirinya.
Biar kemampuan menulisnya tidak hilang, sesekali waktu dia menulis buku dan diterbitkan oleh Bakti Baru, percetakan yang dia pimpin.
Selepas memimpin Mingguan KAMI (1967-1974) -- suratkabar yang terbit ketika awal Orde Baru – belasan tahun Alwi istirahat di dunia media.
Dia kemudian terlibat aktif ketika bersama Harun Rasyid Djibe, S Sinansari ecip, menghadirkan Harian Fajar pada 1 Oktober 1981. Fajar sendiri berawal dari Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Harian Ekspres yang dipimpin Harun Rasyid Djibe.
Sempat juga M Alwi Hamu menerbitkan sebuah majalah yang diberi nama Majalah Intim antara tahun 1979-1985.
Majalah itu kemudian terkubur dengan sendirinya, begitu harian Fajar mulai mampu menggeliat dan berjalan normal hingga kondisinya seperti sekarang.
Kisah kehadiran Fajar pun bermula, ketika awal tahun 80-an, Ekspres dililit kesulitan finansial (defisit) yang berimplikasi pada kondisi ketidakteraturan terbit.
Pemiliknya, Harun Rasyid Djibe, mencari investor dan menjalin kemitraan dalam mengelola perusahaan. HM Alwi Hamu – yang ketika itu memimpin Percetakan Bakti Baru -- berminat menanam investasinya.
Keduanya mengajukan permohonan Surat Izin Penerbitan Suratkabar Ekspress. Permohonan tersebut dikabulkan Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika Departemen Penerangan RI dan nama harian mengalami perubahan menjadi harian Fajar.
Sejak Fajar lahir, Alwi Hamu berada pada posisi puncak memimpin harian ini. Namun, regenerasi juga terjadi secara internal dan alamiah.
Sembari berkeliling tanah air membuka jejaring media di beberapa daerah, pria kelahiran Pangkajene Sidenreng 28 Juli 1944 ini, memberi kesempatan kepada kader muda memimpin Fajar. Hingga sekarang, kepemimpinan redaksional di Fajar silih berganti.
Di bawah kepemimpinannya, Fajar yang sempat terseok-seok, mampu melewati titik "break event point" setelah bergabung dalam Jawa Post Group. Perusahaan pers Jawa Timur itulah yang menginjeksi Fajar hingga mampu mandiri. Bahkan, tidak hanya mandiri, Fajar Media Group kini sudah memiliki sejumlah media.
Alwi Hamu, termasuk salah seorang figur yang meraih sukses tanpa gelar. Memang ada gelarnya, Sarjana Muda Teknik Unhas (1967), tetapi tidak pernah melekat di namanya.
Gelar ini pada masa itu memang sangat keren. Bukan karena gelarnya, melainkan kemampuan dan kompetensi mereka yang menyandang gelar setingkat ini sudah tidak diragukan lagi berkiprah dalam dunia nyata/di lapangan sesuai dengan latar belakang pendidikannya.
Suami H.Nuraini ini, termasuk dapat digolongkan sebagai komunitas Bill Gates, jutawan pemilik dan pencipta Microsoft.
Pada jejeran nama tanpa gelar yang sukses besar tersebut ada nama-nama lain seperti, Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), H Agus Salim, KH Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), Anwar Ibrahim (mantan Wakil/PM Malaysia), Abdullah bin Auf, Abuya Ashaari, M Natsir, Hasan Al Banna, Anne Rufaidah, Kolonel Sanders, dan Siti Nurhaliza.
Mereka adalah orang-orang yang telah mencatatkan dirinya mampu meraih sukses besar tanpa embel-embel yang terakhir-terakhir ini diburu dan digilai banyak orang. Gelar terkadang diperoleh secara instan.
Sepertinya hidup ini tidak afdal tanpa gelar, hingga harus diburu dan dikejar untuk memperpanjang nama. Alwi Hamu – meski dia mampu – tak silau dengan orang yang memburu gelar.
Mungkin ada yang bertanya, sukses apa yang diraih Alwi Hamu hingga dapat disejajarkan dengan mereka? Kita tidak dapat menafikan, tanpa ayah lima anak ini, Harian Fajar tidak akan sebesar sekarang.
>> Baca Selanjutnya