UNHAS.TV - Riuh ketidakpastian menyelimuti banyak keluarga pekerja di Indonesia. Dalam beberapa bulan terakhir, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) melanda berbagai sektor industri.
Ribuan buruh manufaktur dan pekerja tekstil kehilangan mata pencaharian. Mereka tidak hanya kehilangan pekerjaan, tapi juga rasa aman dan harapan di tengah biaya hidup yang terus melambung.
"Seolah dunia saya runtuh dalam semalam," kata Aminah, seorang buruh pabrik garmen di Jawa Barat yang terkena PHK bersama ratusan rekannya.
Ia kini menggantungkan hidup dari jualan makanan kecil, sementara dua anaknya harus mulai berhemat dengan bekal seadanya ke sekolah. Cerita Aminah hanyalah satu dari ribuan potret pekerja yang terimbas badai efisiensi massal.
Menurut catatan Kementerian Ketenagakerjaan, PHK besar-besaran dipicu oleh kombinasi faktor yang kompleks. Penurunan permintaan global, otomatisasi industri, serta tekanan biaya produksi menjadi pendorong utama.
Belum lagi nilai tukar rupiah yang terus berfluktuasi membuat biaya impor bahan baku melonjak, memaksa banyak pelaku usaha menyusun ulang strategi bisnis mereka—sayangnya, dengan memangkas tenaga kerja.
Namun, tak semua menyetujui bahwa PHK adalah satu-satunya jalan. Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Dr Mursalim Nohong SE MSi menilai bahwa perusahaan semestinya tidak menjadikan PHK sebagai solusi pertama.
“Perusahaan sebaiknya mengambil langkah diversifikasi produk dan lebih terbuka kepada karyawan terkait kondisi perusahaan,” katanya.
Menurutnya, terlalu fokus pada satu jenis komoditas membuat perusahaan lebih rentan terhadap gejolak pasar. "Diversifikasi produk bisa menjadi penyelamat," kata Prof. Mursalim.
Perusahaan yang mampu berinovasi dan mencari ceruk pasar baru akan lebih tahan banting dalam menghadapi tekanan ekonomi.
Selain itu, ia menyarankan adanya dialog yang konstruktif antara manajemen dan karyawan sebelum keputusan drastis diambil. "Komunikasi yang jujur bisa membangun kepercayaan dan membuka opsi alternatif," ujarnya.
Tak bisa dipungkiri, gelombang PHK ini membawa dampak yang jauh melampaui ruang lingkup ekonomi. Pengangguran meningkat, stabilitas sosial terganggu, dan tekanan psikologis menghantui mereka yang kehilangan pekerjaan.
Dalam banyak kasus, para mantan pekerja ini juga menghadapi stigma sosial yang menyulitkan mereka untuk bangkit kembali.
Prof. Mursalim menambahkan bahwa peran pemerintah sangat krusial dalam situasi ini. Ia menekankan pentingnya kebijakan yang tak hanya reaktif, tetapi juga preventif.
“Pemerintah perlu memberikan bantuan sementara kepada pekerja terdampak, serta menjalin komunikasi lebih erat dengan pelaku usaha guna mencegah PHK sejak dini,” jelasnya.
Program pelatihan ulang (reskilling) dan penempatan kerja baru harus menjadi prioritas dalam kebijakan negara. Selain itu, ada kebutuhan mendesak untuk mereformasi sistem perlindungan sosial bagi tenaga kerja informal yang kerap kali luput dari jaring pengaman pemerintah.
Gelombang PHK adalah alarm keras bagi ekosistem ketenagakerjaan Indonesia. Ia memaksa seluruh pihak—pemerintah, perusahaan, hingga serikat pekerja—untuk duduk bersama dan mencari solusi jangka panjang.
Tanpa kebijakan strategis dan kolaboratif, badai ini bisa menjelma krisis berkepanjangan yang menggerogoti tulang punggung ekonomi bangsa.
Dari kampus Universitas Hasanuddin di Makassar, suara akademisi seperti Prof. Mursalim menjadi pengingat bahwa ada pilihan lain selain PHK. Pilihan yang membutuhkan visi, keberanian berinovasi, dan kemauan untuk berbagi beban secara adil.
(Muh. Syaiful / Unhas.TV)