
Sundaland pada Glasial Maksimum Terakhir, menunjukkan distribusi lahan modern dalam warna abu-abu gelap dan lahan tambahan yang terekspos selama LGM dalam warna abu-abu terang. Kredit: Voris, 2000.
Kaitan dengan Tinggalan Arkeologi di Sulawesi
Ketika naiknya permukaan laut secara perlahan menghapus daratan Sundaland dari peta, manusia purba yang menetap di wilayah tersebut tidak serta-merta hilang—mereka harus beradaptasi dengan lingkungan baru yang semakin terfragmentasi. Migrasi ke daerah yang lebih tinggi atau wilayah yang lebih stabil, seperti pegunungan dan sistem gua di Sulawesi, menjadi salah satu solusi utama bagi kelompok manusia purba yang bertahan. Jejak kehidupan mereka tidak hanya tersimpan dalam fosil dan alat batu, tetapi juga dalam ekspresi seni yang menggambarkan dunia mereka—seperti lukisan cadas yang ditemukan di Maros-Pangkep. Seni ini bukan sekadar hiasan dinding gua; ia menjadi bukti kemampuan simbolik yang berkembang seiring perpindahan mereka, memperlihatkan bagaimana manusia purba tidak hanya bertahan hidup tetapi juga membentuk identitas dan cerita kolektif melalui gambar dan simbol.
Di Leang Karampuang, sebuah situs prasejarah di Kabupaten Maros, Sulawesi, para ilmuwan menemukan lukisan naratif tertua di dunia—sebuah karya luar biasa yang menggambarkan interaksi antara figur manusia dan babi Sulawesi (Sus celebensis). Berdasarkan metode Laser-Ablation Uranium-Series Dating, lukisan ini diperkirakan berusia setidaknya 51.200 tahun, jauh lebih tua dari perkiraan sebelumnya tentang kapan manusia mulai menggunakan gambar sebagai cara bercerita (Oktaviana et al., 2024). Temuan ini mengubah cara kita memahami seni prasejarah, menunjukkan bahwa manusia purba di Asia Tenggara telah lama memiliki kemampuan simbolik yang kompleks, bukan sekadar membuat gambar, tetapi menyampaikan kisah dalam bentuk visual.
Tak jauh dari sana, Leang Timpuseng, juga di Kabupaten Maros, menyimpan cap tangan berusia 39.900 tahun serta lukisan babirusa berusia 35.400 tahun (Aubert et al., 2014). Temuan ini membuktikan bahwa seni cadas di Sulawesi memiliki usia yang setara dengan lukisan tertua di Eropa, menantang pandangan lama bahwa seni prasejarah hanya berkembang di belahan barat dunia. Lukisan tangan ini mungkin dibuat sebagai simbol identitas atau bagian dari ritual spiritual, memperlihatkan bahwa manusia pada masa itu tidak hanya berburu untuk bertahan hidup tetapi juga mengembangkan ekspresi budaya yang lebih dalam.
Lebih ke utara, di Leang Tedongnge, Kabupaten Pangkep, ditemukan lukisan babi kutil Sulawesi yang berusia minimal 45.500 tahun—lukisan representasional tertua yang diketahui di dunia (Brumm et al., 2021). Lukisan ini menampilkan detail anatomi yang luar biasa akurat, membuktikan bahwa seniman prasejarah memiliki pemahaman mendalam tentang subjek yang mereka gambar. Tidak hanya sebagai ilustrasi sederhana, karya ini juga memperkuat posisi Sulawesi sebagai salah satu pusat seni figuratif awal manusia.
Lebih jauh lagi, di Leang Bulu’ Sipong 4, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, ditemukan adegan perburuan yang menggambarkan makhluk therianthrope—figur campuran manusia dan hewan—sedang memburu babi kutil dan anoa. Lukisan ini kini diperkirakan berusia minimal 48.000 tahun, memperbarui estimasi sebelumnya yang hanya 43.900 tahun (Aubert et al., 2019; Oktaviana et al., 2024). Temuan ini menjadi bukti kuat bahwa seni cadas di Sulawesi tidak hanya sangat tua tetapi juga memiliki makna simbolik dan spiritual yang kompleks, kemungkinan besar berkaitan dengan kepercayaan dan ritual masyarakat prasejarah.
Penemuan seni cadas ini mengubah pandangan kita tentang kapan dan di mana manusia pertama kali mulai mengekspresikan diri melalui seni. Dengan usia yang bahkan lebih tua daripada lukisan gua terkenal di Eropa, Sulawesi kini menjadi salah satu pusat awal seni manusia, membuka pertanyaan baru tentang bagaimana budaya visual berkembang di seluruh dunia. Jika penelitian lebih lanjut dilakukan, mungkin kita akan menemukan lebih banyak bukti bahwa Asia Tenggara memainkan peran jauh lebih besar dalam sejarah peradaban manusia daripada yang selama ini diperkirakan. Keberadaan gambar cadas atau lukisan prasejarah di kawasan Karst Maros Pangkep ini menunjukkan tingkat kompleksitas simbolik manusia modern, yang membedakannya dari Homo erectus sebelumnya ini menjadi salah satu pembeda utama mereka dari Homo erectus, yang belum diketahui memiliki kemampuan simbolik semacam ini.
Tak berhenti di situ, penemuan rangka manusia di Leang Paningnge berusia 7.200 tahun, serta Leang Jarie yang berusia 2.700 tahun, memperlihatkan kesinambungan populasi manusia di Sulawesi hingga periode sejarah. Fakta ini membuktikan bahwa wilayah ini menjadi salah satu tempat utama bagi manusia purba yang berhasil melewati tantangan besar setelah tenggelamnya Sundaland.
Hal yang lebih mengejutkan adalah temuan dari studi genetika. Walaupun belum ditemukan bukti fisik bahwa Homo erectus dari Sundaland berinteraksi langsung dengan manusia modern di Sulawesi, analisis DNA mengungkap adanya jejak Denisovan dalam populasi Asia Tenggara. Denisovan adalah manusia arkaik yang hidup di Asia, dan keberadaan jejak genetiknya menunjukkan bahwa di suatu titik dalam sejarah, terjadi percampuran antara mereka dan nenek moyang manusia modern yang kini tinggal di wilayah ini.
Temuan ini membuka jalan bagi penelitian lebih lanjut. Bagaimana sebenarnya jalur migrasi mereka setelah daratan luas Sundaland lenyap? Apakah manusia modern bertemu dan berinteraksi dengan kelompok lain sebelum menetap di Sulawesi? Proses migrasi Homo erectus setelah tenggelamnya Sundaland kemungkinan besar dipengaruhi oleh perubahan ekologi yang ekstrem, memaksa mereka untuk mencari wilayah baru yang lebih stabil. Bukti arkeologi dari Sulawesi, seperti seni cadas dan temuan rangka manusia purba, menunjukkan bahwa wilayah ini menjadi salah satu tempat utama bagi komunitas manusia yang berhasil bertahan dan beradaptasi. Dengan semakin banyaknya penelitian yang mengungkap hubungan antara migrasi manusia purba dan lingkungan yang berubah, Sulawesi dapat menjadi kunci dalam memahami bagaimana manusia berevolusi dan beradaptasi terhadap perubahan besar dalam sejarah