Opini
Saintek

Sundaland: Jejak Peradaban yang Tenggelam dan Implikasinya bagi Sejarah Manusia

Yadi

Oleh: Yadi Mulyadi*  

Pendahuluan

Penemuan fosil manusia purba di dasar laut Selat Madura baru-baru ini mengubah cara kita memahami sejarah evolusi manusia di Asia Tenggara. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Berghuis et al. (2025), para ilmuwan menemukan dua fragmen tengkorak Homo erectus yang berusia sekitar 130.000 – 140.000 tahun. Ini adalah temuan pertama yang berasal dari wilayah Sundaland yang kini tenggelam, memperkuat teori bahwa wilayah ini pernah menjadi rumah bagi Homo erectus sebelum akhirnya hilang ditelan naiknya permukaan laut.

Fosil ini membuka misteri baru: bagaimana manusia purba bertahan di wilayah yang sekarang berada di bawah laut? Bagaimana mereka bermigrasi saat perubahan iklim memaksa mereka meninggalkan habitat yang dulu subur? Dengan adanya bukti tambahan seperti tulang hewan yang memiliki bekas pemotongan dan fosil kerang serta ikan air tawar, para peneliti percaya bahwa Homo erectus di wilayah ini sudah memiliki strategi bertahan hidup yang canggih, memanfaatkan sumber daya sungai dan berburu secara terorganisir.

Penemuan ini bukan hanya sekadar bukti sejarah, tetapi juga menjadi pengingat bahwa masih banyak bagian dari masa lalu yang terkubur di dasar laut, menunggu untuk ditemukan dan diceritakan kembali. Jika eksplorasi lebih lanjut dilakukan, bukan tidak mungkin kita akan menemukan lebih banyak jejak kehidupan manusia purba di wilayah ini. Sundaland bukan hanya tanah yang hilang, tetapi juga bisa menjadi kunci memahami bagaimana manusia berevolusi dan bertahan di tengah perubahan besar lingkungan.

Dengan adanya temuan ini, para peneliti semakin yakin bahwa Sundaland memiliki peran penting dalam sejarah evolusi manusia, bukan hanya sebagai jalur migrasi tetapi juga sebagai pusat kehidupan dan adaptasi Homo erectus dalam menghadapi perubahan lingkungan. Dari sini, kita dapat mulai menelusuri lebih jauh bagaimana tenggelamnya wilayah ini berdampak pada migrasi manusia purba serta kaitannya dengan situs arkeologi di Sulawesi dan wilayah lainnya di Indonesia.

Tenggelamnya Sundaland dan Jejaknya dalam Sejarah

Tenggelamnya Sundaland terjadi pada akhir Pleistosen, sebuah periode geologis yang berlangsung dari sekitar 2,58 juta tahun lalu hingga 11.700 tahun lalu. Pleistosen terbagi menjadi tiga bagian utama: Pleistosen Awal, Pleistosen Tengah, dan Pleistosen Akhir.

Pada Pleistosen Awal (2,58 juta – 0,77 juta tahun lalu), Homo erectus mulai muncul di Asia, termasuk di Jawa, sebagaimana dibuktikan oleh fosil dari Sangiran dan Trinil. Periode ini ditandai oleh fluktuasi iklim yang mulai membentuk pola glasial dan interglasial, yang memengaruhi migrasi dan adaptasi manusia purba di wilayah ini.

Selain dari Sangiran dan Trinil, temuan penting lainnya berasal dari situs Bumiayu di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta menemukan fosil Homo erectus yang diperkirakan berusia 1,7 hingga 1,8 juta tahun, menjadikannya salah satu fosil manusia purba tertua di Jawa. Fosil yang ditemukan meliputi tulang paha, akar gigi, dan rahang, yang berasal dari lapisan bawah Formasi Kali Glagah.

Penemuan ini menantang teori sebelumnya yang menyebutkan bahwa Homo erectus baru hadir di Jawa sekitar 1,5 juta tahun lalu, seperti yang ditemukan di Sangiran. Dengan usia yang lebih tua, Homo erectus dari Bumiayu membuka kemungkinan bahwa migrasi manusia purba ke Nusantara terjadi lebih awal dari yang diperkirakan sebelumnya (Widianto & Noerwidi, 2023). 

Selain itu, temuan ini juga memunculkan perdebatan antara teori Out of Africa dan teori Multi-Regional. Jika Homo erectus di Bumiayu memiliki usia yang sama dengan fosil Homo erectus tertua di Afrika, maka ada kemungkinan bahwa evolusi manusia tidak hanya terjadi di Afrika, tetapi juga di berbagai wilayah lain secara bersamaan. Dengan semakin banyaknya bukti dari berbagai situs di Jawa, termasuk Bumiayu, Sangiran, dan Trinil, penelitian lebih lanjut akan membantu mengungkap bagaimana Homo erectus bermigrasi, beradaptasi, dan berkembang di Asia Tenggara selama Pleistosen.

Memasuki Pleistosen Tengah (774.000 – 129.000 tahun lalu), Homo erectus di Jawa mengalami evolusi lebih lanjut, seperti yang terlihat pada fosil dari Ngandong dan Sambungmacan. Pada masa ini, Sundaland masih merupakan daratan luas yang menghubungkan Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya. Sungai besar seperti Solo menjadi jalur utama kehidupan manusia purba, termasuk Homo erectus yang ditemukan di dasar laut Selat Madura.

Pada Pleistosen Akhir (129.000 – 11.700 tahun lalu), terjadi perubahan besar akibat naiknya permukaan laut yang akhirnya menenggelamkan Sundaland. Periode ini juga mencakup migrasi manusia modern (Homo sapiens) ke Nusantara, seperti yang dibuktikan oleh gambar cadas berusia 51.200 tahun di Maros-Pangkep, Sulawesi. Akhir dari Pleistosen ditandai dengan berakhirnya zaman es terakhir dan awal periode Holosen, yang membawa perubahan ekologi dan budaya yang signifikan bagi manusia di Asia Tenggara.

Sekitar 12.000 tahun lalu, Sundaland mengalami perubahan besar akibat naiknya permukaan laut yang menyebabkan sebagian besar daratannya tenggelam. Fenomena ini terjadi pada periode Pleistosen Akhir (129.000 – 11.700 tahun lalu), ketika pencairan es dari zaman es terakhir meningkatkan volume air laut secara signifikan, mengubah daratan luas yang menghubungkan Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya menjadi kepulauan yang kita kenal saat ini.

Dengan memahami bagaimana Pleistosen terbagi menjadi tiga periode—awal, tengah, dan akhir—kita bisa melihat dengan lebih jelas bagaimana perubahan iklim yang ekstrem memengaruhi kehidupan dan migrasi manusia purba di Nusantara. Dari daratan luas Sundaland hingga kepulauan Indonesia seperti yang kita kenal sekarang, perjalanan evolusi manusia di kawasan ini adalah kisah tentang adaptasi luar biasa terhadap lingkungan yang terus berubah.

Ketika es mulai mencair dan laut perlahan menelan daratan, Homo erectus yang dulu hidup di wilayah ini harus mencari tempat baru untuk bertahan hidup. Mereka mungkin mengikuti aliran sungai, berburu di dataran rendah, atau bahkan bermigrasi ke daerah yang lebih tinggi sebelum akhirnya punah. Sementara itu, manusia modern mulai memasuki kawasan ini, beradaptasi dengan dunia yang baru dan meninggalkan jejak seperti lukisan cadas di Maros-Pangkep yang berusia lebih dari 50.000 tahun.

Jika penelitian lebih lanjut dilakukan, bukan tidak mungkin kita akan menemukan lebih banyak bukti tentang bagaimana manusia purba bertahan menghadapi perubahan besar ini. Sundaland mungkin telah tenggelam, tetapi ceritanya belum selesai. Dengan setiap fosil yang ditemukan dan setiap situs arkeologi yang digali, kita semakin dekat untuk mengungkap rahasia kehidupan manusia ribuan tahun lalu. Sejarah evolusi bukan hanya tentang masa lalu—tetapi juga tentang bagaimana kita memahami tempat kita di dunia saat ini.

>> Baca Selanjutnya