UNHAS.TV - Di ruang studio siniar Unhas TV, suara musik pembuka program Unhas Sehat yang ceria perlahan mereda. “Halo pemirsa, apa kabar? Senang sekali saya Andi Putri Najwa dapat kembali menyapa Anda,” ujar host membuka acara.
Hari itu, topik yang dibahas terasa dekat dengan kehidupan banyak orang tua, yakni tumbuh kembang anak.
Di era kekinian, di tengah arus informasi yang bejibun, hingga teknologi yang makin maju, kehidupan keluarga dan tumbuh kembang anak, adalah hal yang serius.
Data UNICEF mencatat, satu dari delapan anak di Indonesia mengalami keterlambatan perkembangan. Ironisnya, sebagian besar kasus itu tidak terdeteksi sejak dini.
Orang tua biasanya baru menyadari ada yang salah ketika anak sudah masuk usia sekolah dan penanganan pun sering terlambat.
Di program Unhas Sehat kali ini, hadir sosok dokter anak konsultan tumbuh kembang dan pediatri sosial dari Fakultas Kedokteran Unhas, Dr dr Martira Maddepungeng Sp.A(K) Subsp.TKPS.
Dengan tenang ia menjawab pertanyaan yang sering membuat orang tua cemas adalah kapan tantrum, terlambat bicara, atau perilaku hiperaktif anak masih tergolong normal, dan kapan harus menjadi alarm serius?
Setiap orang tua tentu berharap anaknya tumbuh sesuai harapan. Namun, bayangan ideal itu sering terguncang.
Seorang balita berteriak histeris karena mainannya direbut, seorang anak usia tiga tahun belum mampu mengucapkan kata sederhana, atau siswa sekolah dasar yang tak bisa duduk tenang lebih dari lima menit.
“Apakah ini wajar atau tanda gangguan?” begitu pertanyaan yang menghantui banyak kepala.
Menurut dr. Martira, kunci memahami tumbuh kembang anak ada pada milestone—tahapan perkembangan yang seharusnya dicapai pada usia tertentu.
“Kalau usia 12 bulan, misalnya, anak sudah harus bisa merespons ketika dipanggil namanya, menoleh, atau mulai mengucapkan kata sederhana. Kalau itu tidak muncul, patut dicurigai ada keterlambatan,” jelasnya.
Masa Emas yang Sering Terabaikan
Istilah golden age—usia 0 hingga 5 tahun—sering digaungkan, tapi tidak selalu benar-benar dipahami. Di periode inilah otak anak berkembang paling pesat, membentuk fondasi kognitif, bahasa, motorik, dan emosi.
“Manfaatkanlah masa emas itu. Stimulasi sensorik sangat penting, entah lewat melihat, mendengar, atau interaksi sederhana dengan orang tua,” ujar dr. Martira.
Sayangnya, dalam praktik sehari-hari, stimulasi itu kerap tergeser oleh layar gawai. Balita yang rewel diberi tontonan video agar diam. Anak yang sulit makan disuapi sambil disodorkan tablet. “Hasilnya memang anak tenang. Tapi otaknya kosong,” kata Martira.
Tanpa interaksi langsung seperti mendengar kata “bola” sambil melihat dan menyentuh bola anak kehilangan kesempatan belajar.
“Di bawah dua tahun, anak sebenarnya sama sekali tidak dianjurkan bermain gadget. Ini yang paling banyak kebablasan,” tegasnya.
Tantrum: Normal atau Alarm?
Tantrum adalah drama klasik masa balita. Teriakan, tangisan, kadang tubuh yang menghentak-hentak. Menurut dr. Martira, tantrum hingga usia empat tahun masih wajar. “Asal frekuensinya tidak sering dan durasinya singkat, biasanya kurang dari dua menit,” ujarnya.
Namun, bila tantrum terjadi berkali-kali dalam sehari, berlangsung lama, atau terus berlanjut hingga usia sekolah dasar, itu tanda bahaya.
“Biasanya masalahnya ada pada pola asuh. Orang tua terlalu memanjakan, setiap keinginan anak difasilitasi. Anak jadi belajar, ‘kalau saya mau sesuatu, tinggal menangis atau marah’,” jelas Martira.
Dalam kondisi seperti ini, konsistensi orang tua menjadi kunci. “Jangan langsung bilang ‘tidak’ atau memarahi. Cari bahasa yang membuat anak tetap merasa nyaman tapi mengerti ada batasan. Anak harus diajar menunggu, bersabar, dan memahami bahwa tidak semua keinginan bisa terpenuhi,” katanya.
Keterlambatan bicara (speech delay) adalah keluhan paling sering ditemui di klinik tumbuh kembang. Penyebabnya beragam: dari faktor genetik, kondisi medis, hingga lingkungan yang kurang mendukung.
“Rasio anak laki-laki yang terlambat bicara lebih tinggi dibanding perempuan. Secara biologis, area otak untuk bicara pada anak laki-laki maturasinya lebih lambat,” ujar dr. Martira.
Namun, faktor lingkungan tak kalah besar pengaruhnya. Anak yang jarang diajak berinteraksi, atau terlalu sering diberi gadget, rentan mengalami speech delay.
“Kalau anak main bola tapi tidak ada yang mengatakan ‘ini bola’, maka ia tidak pernah tahu namanya. Interaksi itu penting,” katanya menegaskan.
ADHD: Antara Nakal dan Gangguan
>> Baca Selanjutnya