oleh: Yusran Darmawan*
Jakarta, di akhir November 2025. Tepuk tangan panjang membelah ruangan ketika nama Wahyudi Hasbi dipanggil naik ke panggung. Lelaki kelahiran Biak, 25 Oktober 1976 itu menerima Nurtanio Award 2025, penghargaan tertinggi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk tokoh yang membangun fondasi kemandirian kedirgantaraan Indonesia.
Bagi publik luas, namanya mungkin baru mencuat. Namun bagi komunitas riset satelit, Hasbi adalah salah satu pilar era baru antariksa Indonesia. Dia adalah ilmuwan yang menapakkan jejaknya sejak zaman mahasiswa di Fakultas MIPA Universitas Hasanuddin.
***
Sebelum menjadi ilmuwan antariksa, Hasbi adalah mahasiswa yang aktif turun ke jalan. Di pertengahan 1990-an, saat atmosfer reformasi menguap dari banyak kampus Indonesia, Hasbi adalah Ketua Umum Senat Mahassiwa Fakultas MIPA Unhas yang rutin ikut berdemonstrasi.
Ia akrab dengan megafon, diskusi malam, dan ruang-ruang kajian yang penuh idealisme.
Di kampus itu pula ia mengambil peran yang lebih dalam: menjadi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), bahkan menjadi Ketua HMI Komisariat FMIPA. Di organisasi tersebut, ia membimbing banyak mahasiswa baru, mengajarkan disiplin berpikir, membangun karakter kepemimpinan, dan menanamkan nilai-nilai keislaman yang kritis namun terbuka.
Banyak aktivis muda Unhas mengingatnya sebagai mentor yang sabar, telaten, dan tak pelit ilmu.
Hasbi menyelesaikan studi sarjana fisika Unhas pada tahun 2000. Perjalanannya lalu berlanjut ke Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk meraih magister ilmu komputer pada 2011, sebelum kemudian terbang lebih jauh ke Jerman.
Di Technische Universität Berlin, ia menyelesaikan gelar Dr.-Ing. dengan predikat summa cum laude pada 2020, memperdalam riset tentang sistem satelit. Berlin menjadi titik balik besar: kota yang mempertemukannya dengan para ilmuwan yang kelak membentuk jejak sejarah satelit Indonesia.
Merintis Era Satelit Indonesia
Karier Hasbi sebagai insinyur satelit dimulai di proyek LAPAN-A1/LAPAN-TUBSAT, satelit mikro pertama Indonesia. Di bawah supervisi Prof. Udo Renner di TU Berlin, ia terlibat langsung dalam perancangan dan pengujian satelit yang menjadi tonggak sejarah itu.
Satelit tersebut diluncurkan pada 10 Januari 2007 dengan roket PSLV dari India, dan bertahan di orbit lebih dari tujuh tahun, rekam jejak yang menegaskan keberhasilan generasi pertama insinyur satelit Indonesia.
LAPAN-TUBSAT menjadi satelit penginderaan jauh pertama Indonesia, dan Hasbi berada di jantung proses yang membuktikan bahwa bangsa ini mampu membangun teknologi antariksa dari nol.
Keberhasilan LAPAN-A1 membuat Hasbi dipercaya mengerjakan proyek berikutnya: LAPAN-A2. Kali ini perannya lebih besar. Ia terlibat merancang sistem satelit, membuat komponen kustom, hingga memimpin proses verifikasi dan pengujian.
Satelit ini membawa teknologi kamera analog beresolusi 5 meter, kamera digital 4 meter, sistem pemantauan kapal AIS, serta perangkat komunikasi amatir untuk kondisi darurat. Proyek ini matang pada 2012 dan diluncurkan pada 28 September 2015 dengan PSLV-C30 dalam orbit rendah dekat khatulistiwa.
Langkah berikutnya membawa Hasbi ke posisi strategis: Chief Engineer LAPAN-A3. Di sini, ia bertanggung jawab penuh merancang dan mengembangkan sistem satelit berbasis platform baru yang dikenal sebagai LAPAN Bus.
LAPAN-A3 membawa instrumen pemotretan bumi, pemantauan kapal global, hingga eksperimen geomagnetik Indonesia. Proyek ini menjadi salah satu tonggak penting integrasi riset observasi bumi dan maritim dalam satu satelit nasional.
Dari Laboratorium ke Panggung Global
Hasbi kemudian dipercaya memimpin Pusat Riset Teknologi Satelit BRIN sejak 2021. Ia juga menjelma menjadi figur penting di jejaring internasional sebagai anggota senior IEEE, anggota International Academy of Astronautics, ketua IEEE Indonesia, serta bagian dari AIAA.
Ia turut membimbing satelit-satelit mahasiswa seperti Surya Satellite-1 dan RIDUSAT-1, memastikan regenerasi ahli satelit Indonesia tidak terputus. Di berbagai forum internasional, termasuk Workshop IARU Region 3 pada Mei 2025, ia berbicara tentang pentingnya satelit bagi Indonesia.
Pada 27 November 2025, Hasbi menerima Nurtanio Award 2025 di Jakarta. Media nasional memuji kontribusinya, menyebutnya “pengembang mikrosatelit pertama Indonesia.” Dalam acara itu, Prof. Premana Wardayanti Premadi menyampaikan Nurtanio Pringgoadisuryo Memorial Lecture, sebuah penghormatan bagi dedikasi para pionir dirgantara.
***
Dari seorang demonstran kampus, mentor HMI, hingga perintis teknologi satelit Indonesia, perjalanan Wahyudi Hasbi adalah gambaran tentang bagaimana intelektualitas, keberanian moral, dan etos kerja dapat mendorong seseorang melampaui batas yang pernah ia bayangkan sendiri.








