Internasional

Zohran Mamdani: Kisah 'Suara Palestina' Menembus New York di Tengah Gelombang Islamofobia



Semangat perjuangan Zohran Mamdani terpancar dari antusiasme para pendukungnya yang membawa pesan-pesan penting: 'Build Affordable Housing', 'A City We Can Afford', dan 'Childcare for All'. Kredit: Common Dreams.
Semangat perjuangan Zohran Mamdani terpancar dari antusiasme para pendukungnya yang membawa pesan-pesan penting: 'Build Affordable Housing', 'A City We Can Afford', dan 'Childcare for All'. Kredit: Common Dreams.


Titik Balik dan Harapan Baru

Terlepas dari motivasi personal atau kedalaman keislaman Mamdani, kesuksesannya dalam pemilihan pendahuluan wali kota New York secara simbolis adalah titik balik dalam kehadiran politik Muslim di Amerika. Peristiwa ini sekaligus menyingkap wajah asli diskriminasi sistemik yang telah lama mengakar dalam lapisan tersembunyi masyarakat Amerika.

Gelombang kebencian, ancaman, dan tuduhan anti-Semit yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Mamdani, hanya karena keyakinan agamanya dan pendirian moralnya dalam mendukung rakyat Palestina, adalah bukti nyata kedalaman Islamofobia struktural di Amerika. Data dari Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR) menunjukkan bahwa hanya pada tahun 2023, lebih dari 8.000 kasus diskriminasi dan serangan terhadap Muslim dilaporkan—angka tertinggi yang tercatat dalam dua dekade terakhir.

Di sisi lain, menurut data Pew Research Center, citra negatif Islam masih umum di kalangan separuh warga Amerika. Ini adalah hasil langsung dari pemboman media, kebijakan keamanan pasca-9/11, dan orientasi ideologis kelompok sayap kanan ekstrem. Reaksi dari tokoh-tokoh seperti Donald Trump Jr., yang menafsirkan kemenangan seorang Muslim sebagai "runtuhnya New York," lebih dari segalanya mengungkapkan ketakutan mendalam terhadap munculnya generasi yang berkomitmen pada keadilan, multikulturalisme, dan perlawanan terhadap kemunafikan politik.

Zohran Mamdani bukanlah simbol ancaman, melainkan representasi harapan baru bagi masyarakat yang lelah dengan Islamofobia, peperangan, dan kebohongan resmi. Sikapnya yang relatif transparan terhadap genosida di Gaza, pembelaannya terhadap hak asasi manusia, dan pemisahan logis antara kritik terhadap rezim Israel dari tuduhan anti-Semitisme, adalah indikator kematangan politik dan moral yang sangat dibutuhkan di banyak lingkaran kekuasaan.

Di dunia di mana kebenaran seringkali menjadi korban lobi dan kekaisaran media, kemenangannya adalah tamparan keras bagi sistem yang mengklaim menjunjung kebebasan namun takut pada suara-suara yang berbeda. Sesungguhnya, yang membuat para Islamofob lebih takut daripada Mamdani itu sendiri, bukanlah agamanya atau latar belakang imigrasinya. Yang mereka takutkan adalah kenyataan bahwa generasi baru Muslim, dengan literasi politik tinggi, kepercayaan diri sosial, dan dukungan rakyat, telah memasuki struktur kekuasaan dan tidak lagi akan menjadi penonton belaka. Generasi ini, berbeda dengan stereotip "minoritas pendiam," sedang mendefinisikan ulang peran mereka dalam politik Amerika—sebuah peran yang dituntut bukan dari pinggir, melainkan dari inti masyarakat.(*)