UNHAS.TV - Ketika demokrasi seharusnya menjadi panggung bagi suara rakyat, muncul pertanyaan besar: apakah parlemen benar-benar menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat, atau justru sekadar menjadi stempel bagi kepentingan pemerintah?
Hal itu sejalan dengan fenomena di gedung DPR hingga DPRD kian terasa di tengah dinamika politik Indonesia yang penuh dengan tarik-menarik kepentingan.
Indonesia sendiri menganut sistem trias politica, di mana kekuasaan dlama negara dibagi menjadi tiga yakni; eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Pembagian ini dirancang untuk menjaga keseimbangan dan memastikan tidak ada satu lembaga yang memiliki dominasi absolut.
Namun, dalam praktiknya, tumpang tindih kepentingan kerap terjadi, terutama antara eksekutif dan legislatif. Ketika parlemen terlalu tunduk pada pemerintah, independensinya pun dipertanyakan.
Dosen Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, Ummi Suci Fathiya Bailussy, S.IP., M.Si., menyoroti bahwa legislator idealnya adalah perwakilan rakyat yang menyuarakan dan merumuskan kebijakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sayangnya, kondisi di lapangan menunjukkan hal yang berbeda.
“Yang menjadi masalah, orang-orang yang duduk di legislatif ini kerap, bisa saja, sebagian dari mereka adalah ‘titipan’. Titipan dari orang-orang tertentu yang bisa saja berasal dari eksekutif, yudikatif, atau bahkan pihak swasta,” ungkapnya.
Ketika Parlemen Kehilangan Independensinya
Fenomena parlemen yang terlalu lemah atau bahkan tunduk pada eksekutif bukan hanya terjadi di Indonesia. Di banyak negara demokrasi berkembang, batasan kewenangan antar-lembaga sering kali menjadi kabur, menyebabkan fungsi legislatif tidak berjalan optimal.
Akibatnya, kebijakan yang seharusnya berbasis kepentingan rakyat justru dipengaruhi oleh kelompok tertentu yang memiliki kepentingan politik atau ekonomi.
Partai politik pun berperan besar dalam menentukan kualitas legislator. Seleksi yang kurang ketat dapat membuka jalan bagi individu dengan kepentingan pribadi untuk duduk di parlemen, sehingga keputusan yang diambil lebih condong pada agenda kelompok tertentu daripada kepentingan publik.
“Partainya dulu diperbaiki, selebihnya biarkan regulasi yang mengatur. Kalau sudah jadi anggota legislatif, ada kode etik, ada sumpah, ada peraturan yang harus diikuti. Kalau peraturannya diikuti dengan lurus-lurus saja, seharusnya sih tidak ada masalah,” tambah Ummi Suci Fathia.
Dalam demokrasi yang sehat, lanjut Ummi Suci, peran masyarakat dalam mengawasi jalannya pemerintahan menjadi sangat penting.
Ketika publik lebih kritis dan aktif mengawal kebijakan, ruang bagi legislatif untuk bekerja secara independen juga semakin terbuka.
Jika setiap lembaga kembali menjalankan perannya sesuai konstitusi—eksekutif sebagai pelaksana pemerintahan, legislatif sebagai pengawas dan perumus kebijakan, serta yudikatif sebagai penegak hukum—maka keseimbangan dalam sistem politik dapat terwujud.
Namun, jika parlemen terus berada di bawah bayang-bayang pemerintah atau kepentingan tertentu, maka demokrasi hanya akan menjadi ilusi.
Kini, pertanyaannya bukan lagi sekadar apakah parlemen masih berfungsi sebagai wakil rakyat, tetapi bagaimana memastikan bahwa suara rakyat benar-benar terwakili di dalamnya. (*)
(Rizka Fraja / Unhas.TV)