Fadli Ilham
PERSOALAN etika penyelenggara negara masih dipandang sebagai sesuatu yang mengapung. Acapkali hanya ditafsir dengan makna yang samar dan diselesaikan di ruang-ruang yang keruh. Berbeda dengan regulatif yang punya konsekuensi terhadap kepastian hukum.
Ketidakjelasan instrumen terhadap pelanggaran etika, dapat dikatakan sebagai salah satu faktor menjamurnya penyelenggara negara yang seenaknya bersikap amoral dan oportunis di ruang-ruang publik tanpa mempertimbangkan kebatinan rakyatnya.
Bagaimana mungkin kita membayangkan Indonesia menjadi sebuah negara dengan keluhuran culture yang sudah terjamah pada pejuang dan tokoh bangsa sebagai karakter yang mengedepankan etika berbangsa dan bernegara, jika masih ada sikap penyelenggara negara pada lingkup eksekutif, legislatif dan yudikatif yang justru menjadi pemicu utama kegaduhan di tengah penderitaan rakyat.
Tahun ini, banyak persoalan kebuntuan karakter yang melekat dalam tubuh kekuasaan. Bukan hanya pada persoalan regulatif dan prosedural. Tapi etika penyelenggara negara yang seringkali secara blak-blakan memperlihatkan kemunduran karakter—amat jauh dari fitrah para tokoh bangsa seperti yang diteladani Mohammad Hatta, Soekarno, Sutan Syahrir, dan pejuang bangsa lainnya.
Tragedi Agustus 2025, publik dipertontonkan dengan sikap penyelenggara negara menanggapi aspirasi publik tanpa mempertimbangkan kebatinan dan penderitaan rakyat. Dalam peristiwa ini, sejumlah legislatif kemudian diputuskan melanggar kode etik oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Sebagai penyelenggara negara, mereka diingatkan untuk berhati-hati dalam mengeluarkan statemen dan menjaga perilaku (etika dan moral) di ruang publik. Sikap hedon, tamak hingga menggunakan diksi yang tak pantas di ruang publik menjadi alasan memicu amarah rakyat.
Tidak sampai disitu, peristiwa revolusi pati yang sontak menjadi sorotan publik atas sikap arogan kepala daerah. Etika seorang pemimpin yang terkesan tidak bijak menanggapi kritikan rakyat, setelah menaikan tarif pajak telah mengundang gelombang protes dengan massa yang cukup banyak.
Pada ujungnya, amarah rakyat berakhir pada tuntutan pemakzulan terhadap seorang kepada daerah. Meski baru-baru ini dalam sidang paripurna, putusannya tidak sesuai dengan harapan rakyat. Namun, penekanan untuk evaluasi kembali etika kepemimpinan menjadi hal yang paling urgen.
Di Sulsel, polemik laporan terhadap guru dengan menuding melakukan pungutan liar (pungli) terhadap orang tua siswa menjadi sorotan publik. Mengapa tidak? putusan pengadilan yang memutuskan guru tersebut bersalah justru dianulir oleh Presiden Prabowo.
Alasanya, tudingan tersebut tidak memenuhi unsur pelanggaran karena mereka membangun kesepakatan dengan orang tua murid untuk membantu biayai rekan gurunya berstatus honorer.
Dalam pengembangan kasus, aparat penegak hukum menangani kasus tersebut hingga memutuskan kedua guru bersalah dan ditetapkan sebagai tersangka akan diperiksa. Polemik ini menunjukan potret penyelenggara menyelesaikan persoalan masih bersifat prosedural.
Sengkarut persoalan di Indonesia memperlihatkan pola kerja penyelenggara negara bak perangkat elektronik yang sudah dirancang untuk berfungsi secara mekanis. Sehingga wajar jika berhadapan dengan urusan publik, etika tidak ditempatkan sebagai bagian integral sebagai seorang penyelenggara negara. Di permukaan ini, publik justru disuguhkan dengan nirempati penyelenggara negara.
Cara penyelenggara negara dalam menyikapi persoalan publik menunjukan kualitas sebuah negara. Aspek ini, bukan hanya dilihat secara regulatif, tapi sejauh mana etika penyelenggara negara diperhadapkan dengan dengan kritikan publik yang dibangun dalam kerangka demokrasi.
Daulat rakyat sebagaimana yang dikemukakan Tan Malaka, bahwa rakyat memiliki hak sepenuhnya atas penyelenggara negara. Dengan begitu, aspirasi dan kritikan perlu dipandang sebagai derup keterwakilan atau representasi wewenang yang diberikan kepada kekuasaan untuk menjamin kehidupan rakyat.
Upaya untuk memenuhi hak tersebut, semata-mata demi mencapai impian keadilan yang menjadi kehendak rakyat. Perwujudan itu tidak hanya dibangun secara prosedural yang acap kali hanya memotret persoalan secara parsial. Tapi perlu dibangun dengan kemampuan etika penyelenggara negara sebagai seorang pemimpin.
Dalam mencari tambang emas untuk pemupukan moral kapital bagi tumbuhnya kepemimpinan yang berhikmat kebijaksanaan, ada baiknya bangsa ini menengok pada semangat asal (fitrah) kepemimpinan para pendiri bangsa. Karya Prof Yudi Latif dalam Mata Air Keteladanan mengungkapkan jejak value terhadap para tokoh bangsa, seperti Bung Karno dan Bung Hatta yang punya kemampuan empati terhadap suasana kebatinan rakyat.
>> Baca Selanjutnya
undefined

-1024x576-300x169.webp)





 Dr Anton Nugroho MM DS MA-300x169.webp)
