Budaya
Pendidikan

Riset Mahasiswa Unhas Ungkap Pergesaran Makna Haji dalam Budaya Bugis Sidrap

Haji

SIDRAP,UNHAS.TV — Bagi masyarakat Bugis, menyandang gelar haji bukan sekadar menandakan keberhasilan spiritual seseorang menunaikan rukun Islam kelima. Lebih jauh dari itu, gelar ini telah menjelma menjadi simbol kehormatan sosial, tanda status, bahkan “modal budaya” yang menentukan posisi seseorang dalam struktur masyarakat.

Fenomena yang kian kompleks ini kini tengah diteliti secara mendalam oleh Tim Program Kreativitas Mahasiswa – Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) dari Universitas Hasanuddin (Unhas). Tim ini dipimpin oleh St Halifa Nur Rida dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB), bersama anggota Mutia Aulia dan Akhdan Nur Syauqi (FIB), serta Muh Rinaldi Rachman dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB).

Mereka memilih Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap) sebagai lokasi riset—sebuah daerah di jantung Sulawesi Selatan yang masih kental dengan nilai-nilai budaya Bugis dan tradisi keagamaan yang kuat. Di sinilah para peneliti muda itu menemukan dinamika menarik: gelar haji tidak lagi semata-mata dipandang sebagai pencapaian spiritual, melainkan juga simbol siri’—konsep harga diri dan martabat yang menjadi inti falsafah hidup orang Bugis.

Dari Religius ke Simbolik

“Awalnya, gelar haji dimaknai sebagai bentuk kesalehan dan kepatuhan terhadap perintah agama,” tutur Halifa, ketua tim riset. “Namun kini, ia mengalami pergeseran makna: menjadi penanda status sosial dan bahkan privilege tertentu dalam interaksi masyarakat.”

Hasil pra-riset tim menunjukkan bahwa di Sidrap, masyarakat sering menempatkan pemilik gelar haji di lapisan sosial yang lebih tinggi. Dalam acara-acara publik, mereka kerap duduk di posisi terhormat, menjadi rujukan dalam pengambilan keputusan, atau bahkan dijadikan simbol keberhasilan ekonomi.

Lebih menarik lagi, fenomena pamer simbolik turut muncul. Beberapa jamaah yang baru kembali dari Tanah Suci tampil dengan jubah, cincin besar, atau jam tangan berkilau sebagai bentuk ekspresi kebanggaan. “Simbol-simbol ini memperkuat citra keberhasilan sosial, tapi sekaligus bisa memperlebar jarak antara kelas ekonomi,” jelas Mutia Aulia, salah satu anggota tim.

Ketika ‘Siri’ dan Stratifikasi Sosial Bertemu

Dalam falsafah Bugis, siri’ merupakan konsep yang luhur—ia menegaskan martabat manusia, rasa malu, dan kehormatan. Namun dalam konteks modern, nilai ini kerap bersinggungan dengan fenomena sosial baru seperti konsumerisme religius dan pencitraan sosial.

Penelitian Tim PKM-RSH menemukan bahwa siri’ turut memperkuat posisi simbolik gelar haji. Mereka yang menyandang gelar ini dianggap telah mencapai puncak integritas moral dan ekonomi, sehingga mendapatkan penghormatan lebih besar. “Sayangnya,” tambah Halifa, “pandangan ini terkadang membuat masyarakat menilai religiusitas seseorang bukan dari perilaku, tapi dari simbol sosial yang tampak.”

Kondisi tersebut sejalan dengan fenomena global yang disebut Pierre Bourdieu sebagai “kapital simbolik”—yakni nilai sosial yang melekat pada gelar, status, atau tanda kehormatan. Dalam konteks Bugis Sidrap, gelar haji kini menjadi bentuk kapital simbolik yang kuat, sekaligus refleksi hubungan antara agama, budaya, dan kelas sosial.

>> Baca Selanjutnya